Demo Besar di Pati Desak Bupati Sudewo Mundur

pati

Aksi massa di Kabupaten Pati mengguncang jagat media sosial dan pemberitaan nasional. Pemicunya: rencana kenaikan PBB-P2 yang disebut mencapai ratusan persen, ditambah ketidakpuasan atas sejumlah kebijakan daerah. Demonstran menuntut dua hal inti—mencabut kebijakan pajak dan meminta Bupati Sudewo mundur bila koreksi kebijakan tidak dilakukan.

Artikel ini merangkum duduk perkara secara ringkas, to the point, dan siap tayang. Fokus kita: apa yang terjadi, kenapa meledak, dan jalan keluar realistis untuk meredakan situasi tanpa mengorbankan layanan publik.

Latar Belakang Kenaikan PBB-P2

PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan) adalah salah satu tulang punggung pendapatan asli daerah. Di Pati, usulan revisi tarif dan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak memantik reaksi keras. Bagi warga, lonjakan yang dirasakan “tidak wajar” berisiko menekan daya beli, menambah biaya hidup, dan memukul pelaku usaha kecil—terutama pemilik lahan produktif, kios, rumah kontrakan, dan UMKM.

Di sisi pemerintah daerah, argumen klasiknya: penyesuaian pajak dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur, perbaikan layanan, dan konsolidasi fiskal. Masalahnya, timing, metode sosialisasi, dan skala kenaikan dianggap tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi lokal. Minimnya komunikasi—formula, simulasi, dan skema perlindungan kelompok rentan—membuat ketidakpercayaan melebar.

Kronologi Singkat Aksi

Gelombang protes bermula dari diskusi warga, komunitas pedagang, hingga grup-grup desa yang mengeluhkan simulasi tagihan serta rencana tarif baru. Seruan aksi menyebar cepat via media sosial. Pada hari puncak, massa berkumpul di sekitar pendopo, kantor bupati, dan area gedung dewan. Orator menyoroti berbagai kasus lapangan—dari pemilik rumah sederhana yang kaget dengan proyeksi kenaikan hingga pelaku usaha yang khawatir arus kasnya jebol.

Situasi sempat memanas saat massa mendesak audiensi terbuka. Aparat melakukan rekayasa lalu lintas agar arus kendaraan tidak macet total. Perwakilan demonstran menyampaikan petisi tertulis berisi daftar tuntutan dan tenggat waktu untuk mencabut kebijakan. Tekanan publik kian kuat karena narasi aksi trending di platform X dan Facebook lokal.

Tuntutan Massa Secara Spesifik

Inti tuntutan demonstran: batalkan rencana kenaikan PBB-P2 yang dinilai melambung, lakukan uji publik ulang dengan data transparan, dan sediakan skema keringanan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pensiunan, serta pelaku UMKM.

Di level politik, sebagian massa menegaskan bahwa kepala daerah harus bertanggung jawab. Jika kebijakan tidak direvisi, mereka mendesak Bupati Sudewo mundur sebagai bentuk akuntabilitas. Tuntutan ini mencerminkan frustrasi atas proses pengambilan keputusan yang dianggap elitis dan tidak partisipatif.

Respons Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah merespons dengan membuka pintu evaluasi. Poin awal yang biasanya muncul: pembentukan tim kajian, audit formula penilaian NJOP, hingga opsi menurunkan besaran penyesuaian. Ada pula wacana jeda penerapan (moratorium) sambil merapikan data objek pajak agar tagihan lebih akurat.

Pertanyaannya: apakah respons itu cukup? Publik tidak sekadar menunggu “niat baik,” melainkan timeline yang jelas, angka revisi terukur, dan mekanisme keberatan yang mudah diakses. Tanpa parameter konkret, kepercayaan tidak akan pulih.

Peran DPRD dan Mekanisme Hukum

Karena PBB-P2 diikat oleh perda/perkada, DPRD memegang fungsi krusial: pengawasan, revisi regulasi, dan dengar pendapat publik. Mekanisme hukum tersedia—evaluasi perda, revisi pasal tarif dan keringanan, sampai peraturan bupati untuk pengecualian sementara.

Langkah yang ditunggu warga: DPRD memanggil TAPD, Bappeda, BPKAD, dan dinas teknis untuk mempertanggungjawabkan basis data serta asumsi fiskal. Proses idealnya terbuka, disiarkan, dan memberi ruang partisipasi kelompok terdampak agar tidak lagi ada kesan keputusan “kamar tertutup”.

Dampak Ekonomi: Rumah Tangga dan UMKM

Kenaikan PBB-P2 mempengaruhi langsung arus kas rumah tangga. Bagi pekerja informal, setiap rupiah pajak tambahan memotong belanja bulanan. Jika rumah atau kios menjadi jaminan usaha, beban pajak yang melonjak mendadak dapat mengganggu modal kerja dan memperbesar risiko tunggakan.

Pada UMKM, margin tipis adalah keseharian. Biaya pajak properti yang naik berpotensi mendorong kenaikan harga jual, biaya sewa lapak, bahkan penutupan usaha kecil. Efek domino ini menekan penyerapan tenaga kerja lokal dan mengurangi perputaran ekonomi di pasar kecamatan.

Dampak Sosial dan Tata Kelola

Isu pajak menyangkut rasa keadilan. Saat warga merasa tidak dilibatkan, protes mudah meledak. Aksi di Pati menegaskan pentingnya tata kelola: data NJOP harus bersih, peta zonasi nilai tanah transparan, dan simulasi tagihan dipublikasikan dalam format yang gampang dipahami.

Transparansi meredam rumor. Jika pemda rutin merilis data per dusun/kelurahan—rerata NJOP, persentase kenaikan, dan peta kelompok rentan—narasi “kenaikan diam-diam” bisa dipatahkan. Kebalikannya, ketertutupan memancing spekulasi liar: politisasi pajak, salah kelola, sampai tuduhan rente.

Mengapa Komunikasi Publik Gagal

Biasanya ada tiga biang: waktu, bahasa, dan kanal. Sosialisasi dilakukan terlalu dekat dengan masa penetapan; istilah teknis seperti “penyesuaian basis data” tidak dibarengi contoh tagihan; kanal resmi lambat dibanding narasi warganet.

Solusinya lugas: rilis simulasi tagihan berbasis NOP secara daring, buka loket keberatan di tiap kecamatan, sediakan hotline, dan adakan forum tatap muka pada jam yang ramah pekerja. Ini bukan kosmetik PR—ini prasyarat legitimasi kebijakan fiskal.

Skema Keringanan yang Realistis

Kalau pun penyesuaian PBB-P2 dianggap perlu, keringanan harus jelas. Contoh: pembebasan/diskon progresif untuk pensiunan, veteran, rumah sederhana dengan NJOP tertentu, dan UMKM beromzet kecil. Tambahkan opsi cicilan tanpa bunga untuk wajib pajak yang kesulitan membayar sekaligus.

Hindari “jebakan administratif”. Syarat keringanan yang terlalu rumit justru mematikan akses. Idealnya cukup KTP, bukti kepemilikan, bukti penghasilan/surat keterangan tidak mampu; SLA beberapa hari kerja; dan hasil bisa dipantau daring.

Perbandingan dengan Daerah Lain

Banyak daerah melakukan penyesuaian PBB-P2, tetapi intensitas protes bervariasi. Kuncinya di baseline NJOP, kemampuan fiskal, dan kualitas sosialisasi. Daerah yang sukses biasanya memperbarui data bertahap, menguji publik simulasi setahun lebih awal, membuka konsultasi tatap muka, dan menghadirkan dashboard transparansi.

Ketika warga tahu mengapa tarif naik dan bagaimana uangnya dipakai, resistensi turun. Mereka tidak anti pajak; mereka anti keputusan gelap.

Peran Media dan Warganet

Media mendorong akuntabilitas sekaligus menenangkan situasi dengan informasi valid. Warganet memperluas jangkauan isu, tapi juga rawan hoaks. Redaksi perlu jaga cek fakta: bedakan draft kebijakan vs regulasi final; verifikasi angka; perjelas status “rencana” atau “sudah berlaku”.

Tujuannya bukan sekadar menjaga reputasi redaksi—tetapi mencegah kepanikan dan salah paham massal yang memperkeruh keadaan.

Apa yang Perlu Dilakukan Warga

Pertama, cek NOP dan NJOP objek pajak masing-masing. Kedua, gunakan jalur keberatan resmi dengan membawa bukti: foto bangunan, surat tanah, data pembanding harga pasar. Ketiga, koordinasi warga memperkuat posisi tawar—lewat forum RW/RT—dengan tetap menjaga ketertiban dan menghindari provokasi.

Bila ada revisi kebijakan, simpan bukti keputusan dan tagihan terbaru. Jika ada potensi salah tagih, dokumentasikan dan ajukan ulang. Pajak daerah memang wajib; mekanisme keberatan adalah hak.

Jalan Tengah yang Bisa Ditempuh Pemda

Untuk meredakan tensi, pemda bisa menempuh paket kebijakan: menunda penerapan tarif baru, menurunkan persentase kenaikan pada kelas aset tertentu, memberikan keringanan sementara, dan melakukan audit data. Selanjutnya, lakukan “roadshow pajak” ke desa/kelurahan supaya publik paham perubahan dan tahu cara mengajukan keberatan.

Rilis juga ringkasan anggaran: proyek apa yang dibiayai dari PBB-P2, target layanan, dan indikator manfaat yang bisa diukur (jalan lingkungan, lampu jalan, drainase, puskesmas). Saat warga melihat korelasi pajak–layanan, resistensi turun.

Risiko Politik Bila Konflik Berlarut

Aksi berkepanjangan menggerus jam kerja produktif pemerintah daerah dan memukul persepsi investor ritel. Di politik, oposisi memanfaatkan momentum. Di sosial, polarisasi “pro-pajak” vs “anti-pajak” bisa makin keras—padahal tujuan akhirnya sama: layanan publik membaik.

Menutup konflik dengan solusi konkret lebih penting daripada menang narasi. Itu yang dinanti warga.

Keselamatan dan Etika Aksi

Demonstrasi adalah hak, tapi keselamatan publik nomor satu. Hindari membawa benda berbahaya, patuhi koridor aksi damai, dan jaga fasilitas umum. Di ruang digital, jaga etika: jangan sebar data pribadi; fokus pada substansi kebijakan, bukan serangan personal.

Dengan cara itu, tekanan publik tetap kuat tanpa menambah kerusakan.

Rangkuman: Apa yang Ideal Terjadi Setelah Aksi

Pertama, pemda mengumumkan evaluasi menyeluruh, menetapkan timeline revisi, dan menurunkan beban paling ekstrem. Kedua, DPRD menggelar sidang terbuka dan menerima masukan tertulis dari warga. Ketiga, warga memanfaatkan jalur keberatan resmi sambil mengawal proses. Keempat, media terus menekan transparansi data dan mengawal implementasi, bukan sekadar pernyataan.

Demo besar di Pati adalah alarm. Pajak daerah memang perlu untuk membiayai layanan publik, tetapi legitimasi kebijakan lahir dari proses yang adil, data rapi, dan komunikasi yang menghormati kecerdasan warga.